Menjadi mahasiswa idealis adalah dambaan. Karena memang secara fitrahnya, manusia mempunyai tabiat bawaan untuk mencintai sesuatu yang perfect atau sempurna. Seorang mahasiswa sangat mengidamkan agar nilai IP/IPK-nya tinggi. Seorang mahasiswa akan merasakan kepuasan batin tersendiri jika tetap bisa mempertahankan citra ke-independenannya di tengah godaan paham pragmatis yang mulai menjamur. Untuk sementara, sampai di sini kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia akan bangga jika bisa melakukan yang terbaik.
Selanjutnya, kita kembali pada statment awal saya, yakni menjadi mahasiswa idealis adalah dambaan. Namun, perlu diingat idealisme selain sebuah dambaan di suatu sisi, ia merupakan sebuah pilihan di lain sisi. Ini yang paling penting, yaitu menjadi mahasiswa yang idealis adalah pilihan. Ya, pilihan. Pilihan di antara berbagai pilihan: pragmatis, hedonis, materialis dan pilihan-pilihan isme lainnya. Maksud saya, idealisme bukanlah karunia yang secara otomatis Tuhan berikan pada kita. Tapi, ia merupakan pilihan. Apakah kita mau memilih jalan hidup idealis yang sebenarnya memang cocok dengan fitrah manusia? Atau kita memilih jalan-jalan hidup yang lain dengan maksud berspekulasi? Jika kita memang sudah bertekad bulat untuk memilih jalan idealis di antara opsi-opsi yang lain, maka ada resiko yang harus kita tanggung sebagai konsekuensi dari pilihan kita. Karena memang pilihan adalah salah satu dari tiga proses menjalani kehidupan, yang mana ketiganya ini saling berkaitan. Tak boleh dipisahkan.
Ada petuah dari seorang bijak: Hidup adalah pilihan, perjuangan dan pertanggungjawaban. Lebih kurang seperti itulah bunyi dari perkataan yang sarat dengan filosofi kehidupan itu. Maksudnya, di dalam hidup ini, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan. Setelah kita menjatuhkan pilihan, maka harus kita perjuangkan, untuk kemudian kita pertanggungjawabkan pada waktunya. Sebagai suatu perumpamaan, mahasiswa yang hendak menyusun karya skripsinya, misalnya. Ia boleh saja memilih judul yang memang sesuai dengan spesialisasi keilmuannya: apakah ia mau mengambil judul pendidikan berbasis lingkungan, pendidikan dengan terapan teknologi, dan bahkan ia boleh menggarap judul skripsi yang berorientasi pendidikan sosial. Semua itu boleh. Karena itu ada pilihan. Namun, setelah ia sudah memilih dan memutuskan suatu judul yang hendak ia garap, maka ia harus benar-benar memperjuangkannya, agar benar-benar ilmiah. Tidak asal. Inilah yang disebut perjuangan. Selanjutnya, tibalah waktunya untuk mempertahankan apa yang telah selama ini ia teorikan dalam tulisannya itu. Ia harus benar-benar bisa menjelaskan argumennya dan tetap berpendirian. Tidak plin-plan. Tahap inilah yang kita pahami sebagai tanggung jawab. Begitu juga ketika kita memilih untuk menjadi mahasiswa yang idealis. Kita harus memperjuangkannya. Kita harus bisa mempertanggungjawabkannya. Mari kita urut secara tafsil (terperinci):
Pertama, Idealis adalah pilihan manusia sebagai sebaik-baik makhluk. Ia dibekali akal dan keinginan agar bisa eksis. Allah memberi manusia perangkat seperti pendengaran, penglihatan dan hati. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(QS. an-Nahl {16}:78). Dengan bekal perangkat itulah manusia bisa survive dan menjaga eksistensinya. Telinga sebagai media auditori untuk mencerna informasi. Mata sebagai alat visual untuk merekam apa yang dilihatnya. Hati, adalah sebagai pendeteksi untuk memeriksa data yang masuk, baik melalui telinga maupun mata. Hati inilah yang kemudian akan mengambil keputusan setelah sebelumnya beroperasi dengan cara kerja “yaâ qiluna biha wa yafqahuna biha” (memikirkan dan mempertimbangkan). Di sinilah manusia menjatuhkan pilihannya.
Ada salah pemahaman di antara sebagian mahasiswa. Dengan menjadi mahasiswa atau memasuki organisasi kemahasiswaan, yang secara historis memang organisasi tersebut digagas oleh orang-orang yang idealismenya tinggi, dalam anggapan mereka, secara otomatis mereka tercatat sebagai orang yang idealis. Apakah benar seperti itu? Tidak. Karena idealisme bukanlah “pusaka warisan”. Ia tidak bisa secara takdir terwariskan dari generasi sebelum kepada penerusnya. Bukankah Kanâan, anak nabi Nuhalaihissalam tidak mewarisi keimanan dan perjuangan ayahnya. Justru ia termasuk orang yang celaka. Dan, bukankah Rasulullah pernah bersabda di hadapan para sahabatnya: “Jika seandainya Fatimah (putrinya) mencuri, maka aku sendiri yang akan menghakimi dan memotong tangannya” ((HR. Bukhari dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah Syafaah Fil Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadits nomor 6778, 12/87). Di lain kesempatan, beliau juga berpesan pada Fatimah, agar istiqomah berpegang teguh pada Islam. Karena walaupun beliau sangat mencintainya, di akhirat ia tidak bisa bernepotisme saat berhadapan dengan Allah. Maka, perlu saya tegaskan kepada rekan-rekan mahasiswa, jangan cukup dengan hanya berbangga diri ketika terdaftar sebagai mahasiswa secara administratif atau menjadi kader suatu organisasi. Karena itu bukanlah suatu keistimewaan, melainkan suatu karunia.
Kedua, Idealisme Butuh Perjuangan Berbanggalah bagi mahasiswa lebih-lebih yang tercatat sebagai kader anggota organisasi, baik itu di HMI, KAMMI, PMII, IPNU, FMN, GMNI dan organisasi-organisasi lainnya, internal maupun eksternal, ataupun yang membawa bendera kedaerahan. Namun, seperti yang saya katakan pada akhir paragraf sebelumnya: itu bukanlah suatu keistimewaan, melainkan suatu karunia. Kata-kata ini saya kutip dari film hero Holywood, Spider Man II. Dalam film itu, seorang profesor mengatakan kepada Peter Parker (Spider Man), bahwa kecerdasan bukanlah keistimewaan, melainkan karunia. Harus digunakan dan dioptimalkan. Begitu kurang lebih.
Menjadi mahasiswa ataupun kader suatu organisasi adalah karunia. Yang namanya karunia, tidak untuk kita banggakan. Tapi, untuk kita syukuri. Dan, cara mensyukuri nikmat, aturannya dalam Islam ada empat tahap: Yang pertama, merasa gembira. Ini disebut dengan ekspresi. Kedua, mengungkapkan rasa syukur dengan lisan. Ini yang dimaksud dengan apresiasi. Ketiga, membangun komitmen. Ini yang dinamakan internalisasi.. Keempat, menggunakan dan mengembangkan karunia yang dianugerahkan. Ini yang dimaksud dengan “wa amma binikmati rabbika fa haddits”-maka terhadap nikmat Tuhanmu, hendaknya kamu siarkan. (Harjani Hefni, The 7 Islamic Daily Habits, hal. 70, Pustaka Ikadi, Jakarta, 2009).
Fenomena yang terjadi di kalangan kita adalah hanya berhenti pada tahap pertama, yakni ekspresi. Gembira/senang/bangga dengan menjadi mahasiswa ataupun kader/anggota suatu organisasi. Padahal itu tidak cukup. Syukur akan sempurna jika kita apresiasi, disadari bahwa karunia itu adalah amanah dan digunakan/manfaatkan sebagaimana mestinya. Kita internalisasikan, kita jadikan karunia itu sebagai media untuk menjadi lebih baik. Kemudian kita saling mengingatkan dan berbagi manfaat dengan orang lain melalui karunia itu. Kurang benar jika kita hanya puas dan bangga dengan menjadi mahasiswa ataupun kader suatu organisasi. Semestinya tidak hanya sebatas itu, tapi mesti diperjuangkan.
Apakah sejarah dan peradaban dunia akan mencatat kita sebagai orang yang idealis, sementara kita hanya berdiam diri, terpaku dan bangga dengan kemahasiswaan dan keorganisasian kita? Bukankah tokoh-tokoh terkenal sebelum kita telah berjuang, sehingga dengan itu, nama mereka terukir dalam bingkai sejarah.
Idealisme dan Perjuangan Mesti Dipertanggungjawabkan sebagai Pilihan
Hidup kita, dalam hal ini idealism yang diperjuangkan. Setelah itu kita pertanggungjawabkan. Namun ternyata ada juga beberapa mahasiswa yang sukanya hanya aksi, debat kusir dan sok berlagak ilmiah. Kadang-kadang lempar batu, sembunyi tangan. teriak sana-teriak sini. Tak bertanggung jawab. Pada suatu kesempatan mereka berbicara kebijaksanan dengan berbagai ayat, hadis dan perkataan ulama yang dikutipnya. Tapi, pada lain waktu mereka sendiri yang suka bikin rusuh, korupsi di tingkat UKM, nepotisme terhadap etnis tertentu ataupun ikatan kekerabatan. Apakah itu hal yang mempertanggungjawabkan nilai idealisme yang selama ini mereka pilih? Apakah itu tidak bertentangan dengan nilai perjuangannya yang seharusnya? Itu adalah hal yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, itu menyalahi tanggung jawab.
Melihat fenomena demikian, lagi-lagi saya teringat dengan pesan moral yang ada dalam film Spider Man. Kali ini dari Spider Man I. Ketika menjelang ajal, sang paman, Been Parker berpesan kepada Peter: Seiring kekuatan besar, maka datang kekuatan besar. Hal ini yang kadang kita lupakan atau tepatnya kita abaikan. Semakin tinggi pendidikan, tanggung jawab kita, baik secara agama maupun sosial, sebenarnya semakin bertambah. Rekan-rekan mahasiswa, kita sudah memilih dan mungkin sebagian kita juga sudah mulai berjuang. Marilah kita dukung itu dengan sama-sama ambil andil bersama mereka. Inilah pilihan hidup kita. Ayo kita perjuangkan. Bersama-sama kita mengemban tanggung jawab besar ini.
Tanggung jawab menjaga kedamaian di bumi, karena kita adalah khalifah yang Allah percayai untuk memakmurkan dan mengelola bumi ini. Ini adalah amanah besar, karena langit, bumi dan gunung menolak mengemban amanah ini ketika Allah menawarkannya. Dan, ternyata kita-lah sebagai manusia yang menyanggupinya. Maka, sebagai mahasiswa kita tentunya harus berani untuk tampil dan terampil di garda terdepan dalam menyukseskan misi kehidupan ini. Dengan berbekal idealisme dan perjuangan. Salam perjuangan buat mahasiswa yang konsiten dalam perjuangannya. Haitsuma tastaqim tarbah (jika kamu konsiten, maka kamu akan beruntung. Yakinlah bahwa idza tastaqim yuqaddir lakallahu najahan(jika kamu istiqamah/konsisten, maka Allah akan menakdirkan kamu dengan kemenangan).
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusAkhi, laen kali kalau ngambil tulisan, dicantumkan sumber asalnya ya. Oya, terima kasih. Dg ini ana jadi tahu bhhwa hadis yg brbunyi: “Jika seandainya Fatimah (putrinya) mencuri, maka aku sendiri yang akan menghakimi dan memotong tangannya” adalh riwayat Imam Bukhari ra.
BalasHapus