Other Page

Sabtu, 02 April 2011

Kaya hati, Kaya senyatanya


Orang kaya pastikah selalu merasa cukup? Belum tentu. Betapa banyak orang kaya namun masih merasa kekurangan. Hatinya tidak merasa puas dengan apa yang diberi Sang Pemberi Rizki. Ia masih terus mencari-cari apa yang belum ia raih. Hatinya masih terasa hampa karena ada saja yang belum ia raih.
Coba kita perhatikan nasehat suri tauladan kita. Dari Abu Hurairah, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda,
لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ ، وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ
Kaya bukanlah diukur dengan banyaknya kemewahan dunia. Namun kaya (ghina’) adalah hati yang selalu merasa cukup.” (HR. Bukhari no. 6446 dan Muslim no. 1051)
Dalam riwayat Ibnu Hibban, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi nasehat berharga kepada sahabat Abu Dzar. Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu berkata,
قَالَ لِي رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : يَا أَبَا ذَرّ أَتَرَى كَثْرَة الْمَال هُوَ الْغِنَى ؟ قُلْت : نَعَمْ . قَالَ : وَتَرَى قِلَّة الْمَال هُوَ الْفَقْر ؟ قُلْت : نَعَمْ يَا رَسُول اللَّه . قَالَ : إِنَّمَا الْغِنَى غِنَى الْقَلْب ، وَالْفَقْر فَقْر الْقَلْب
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata padaku, “Wahai Abu Dzar, apakah engkau memandang bahwa banyaknya harta itulah yang disebut kaya (ghoni)?” “Betul,” jawab Abu Dzar. Beliau bertanya lagi, “Apakah engkau memandang bahwa sedikitnya harta itu berarti fakir?” “Betul,” Abu Dzar menjawab dengan jawaban serupa. Lantas beliau pun bersabda, “Sesungguhnya yang namanya kaya (ghoni) adalah kayanya hati (hati yang selalu merasa cukup). Sedangkan fakir adalah fakirnya hati (hati yang selalu merasa tidak puas).” (HR. Ibnu Hibban. Syaikh Syu’aib Al Arnauth berkata bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim)
Inilah nasehat dari suri tauladan kita. Nasehat ini sungguh berharga. Dari sini seorang insan bisa menerungkan bahwa banyaknya harta dan kemewahan dunia bukanlah jalan untuk meraih kebahagiaan senyatanya. Orang kaya selalu merasa kurang puas. Jika diberi selembah gunung berupa emas, ia pun masih mencari lembah yang kedua, ketiga dan seterusnya. Oleh karena itu, kekayaan senyatanya adalah hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Itulah yang namanya qona’ah. Itulah yang disebut dengan ghoni (kaya) yang sebenarnya.
Ibnu Baththol rahimahullah mengatakan, “Hakikat kekayaan sebenarnya bukanlah dengan banyaknya harta. Karena begitu banyak orang yang diluaskan rizki berupa harta oleh Allah, namun ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang diberi. Orang seperti ini selalu berusaha keras untuk menambah dan terus menambah harta. Ia pun tidak peduli dari manakah harta tersebut ia peroleh. Orang semacam inilah yang seakan-akan begitu fakir karena usaha kerasnya untuk terus menerus memuaskan dirinya dengan harta. Perlu dikencamkan baik-baik bawa hakikat kekayaan yang sebenarnya adalah kaya hati (hati yang selalu ghoni, selalu merasa cukup). Orang yang kaya hati inilah yang selalu merasa cukup dengan apa yang diberi, selalu merasa qona’ah (puas) dengan yang diperoleh dan selalu ridho atas ketentuan Allah. Orang semacam ini tidak begitu tamak untuk menambah harta dan ia tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk terus menambahnya. Kondisi orang semacam inilah yang disebut ghoni (yaitu kaya yang sebenarnya).”
Ibnu Hajar Al Asqolani rahimahullah menerangkan pula, “Orang yang disifati dengan kaya hati adalah orang yang selalu qona’ah (merasa puas) dengan rizki yang Allah beri. Ia tidak begitu tamak untuk menambahnya tanpa ada kebutuhan. Ia pun tidak seperti orang yang tidak pernah letih untuk mencarinya. Ia tidak meminta-minta dengan bersumpah untuk menambah hartanya. Bahkan yang terjadi padanya ialah ia selalu ridho dengan pembagian Allah yang Maha Adil padanya. Orang inilah yang seakan-akan kaya selamanya.
Sedangkan orang yang disifati dengan miskin hati adalah kebalikan dari orang pertama tadi. Orang seperti ini tidak pernah qona’ah (merasa pus) terhadap apa yang diberi. Bahkan ia terus berusaha kerus untuk menambah dan terus menambah dengan cara apa pun (entah cara halal maupun haram). Jika ia tidak menggapai apa yang ia cari, ia pun merasa amat sedih. Dialah seakan-akan orang yang fakir, yang miskin harta karena ia tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diberi. Oran inilah orang yang tidak kaya pada hakikatnya.
Intinya, orang yang kaya hati berawal dari sikap selalu ridho dan menerima segala ketentuan Allah Ta’ala. Ia tahu bahwa apa yang Allah beri, itulah yang terbaik dan akan senatiasa terus ada. Sikap inilah yang membuatnya enggan untuk menambah apa yang ia cari.”
Perkataan yang amat bagus diungkapkan oleh para ulama:
غِنَى النَّفْس مَا يَكْفِيك مِنْ سَدّ حَاجَة فَإِنْ زَادَ شَيْئًا عَادَ ذَاكَ الْغِنَى فَقْرًا
“Kaya hati adalah merasa cukup pada segala yang engkau butuh. Jika lebih dari itu dan terus engkau cari, maka itu berarti bukanlah ghina (kaya hati), namun malah fakir (miskinnya hati).” (1)  
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Kaya yang terpuji adalah kaya hati, hati yang selalu merasa puas dan tidak tamak dalam mencari kemewahan dunia. Kaya yang terpuji bukanlah dengan banyaknya harta dan terus menerus ingin menambah dan terus menambah. Karena barangsiapa yang terus mencari dalam rangka untuk menambah, ia tentu tidak pernah merasa puas. Sebenarnya ia bukanlah orang yang kaya hati.” (2)   
Namun bukan berarti kita tidak boleh kaya harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ بَأْسَ بِالْغِنَى لِمَنِ اتَّقَى وَالصِّحَّةُ لِمَنِ اتَّقَى خَيْرٌ مِنَ الْغِنَى وَطِيبُ النَّفْسِ مِنَ النِّعَمِ
Tidak apa-apa dengan kaya bagi orang yang bertakwa. Dan sehat bagi orang yang bertakwa itu lebih baik dari kaya. Dan bahagia itu bagian dari kenikmatan.” (HR. Ibnu Majah no. 2141 dan Ahmad 4/69. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
Dari sini bukan berarti kita tercela untuk kaya harta, namun yang tercela adalah tidak pernah merasa cukup dan puas (qona’ah) dengan apa yang Allah beri. Padahal sungguh beruntung orang yang punya sifat qona’ah. Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَدْ أَفْلَحَ مَنْ أَسْلَمَ وَرُزِقَ كَفَافًا وَقَنَّعَهُ اللَّهُ بِمَا آتَاهُ
Sungguh sangat beruntung orang yang telah masuk Islam, diberikan rizki yang cukup dan Allah menjadikannya merasa puas dengan apa yang diberikan kepadanya.” (HR. Muslim no. 1054)
Sifat qona’ah dan selalu merasa cukup itulah yang selalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minta pada Allah dalam do’anya. Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,
أنَّ النبيَّ - صلى الله عليه وسلم - كَانَ يقول : (( اللَّهُمَّ إنِّي أسْألُكَ الهُدَى ، والتُّقَى ، والعَفَافَ ، والغِنَى
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca do’a: “Allahumma inni as-alukal huda wat tuqo wal ‘afaf wal ghina(Ya Allah, aku meminta pada-Mu petunjuk, ketakwaan, diberikan sifat ‘afaf dan ghina).” (HR. Muslim no. 2721). An Nawawi –rahimahullah- mengatakan, “”Afaf dan ‘iffah bermakna menjauhkan dan menahan diri dari hal yang tidak diperbolehkan. Sedangkan al ghina adalah hati yang selalu merasa cukup dan tidak butuh pada apa yang ada di sisi manusia.”(3)
Saudaraku ... milikilah sifat qona’ah, kaya hati yang selalu merasa cukup dengan apa yang Allah beri. Semoga Allah menganugerahkan kita sekalian sifat yang mulia ini.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Panggang-GK, 1 Jumadits Tsani 1431 H (14/05/2010)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel  www.rumasyho.com

Bangga menjadi MUSLIM


“Dialah (Allah) yang telah menamakan kamu sekalian muslimin dari dulu dan didalam (Alquran) ini, supaya rasul itu menjadi saksi atas diri kalian dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah salat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dialah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong.” (Al-Hajj: 78).
Saat ini kebanyakan orang bangga dengan nama dan julukan serta gelar yang disandangnya, namun enggan menyandang julukan sebagai muslim. Hingga banyak di antara mereka yang enggan menyatakan dan menampakkan bahwa dirinya muslim. Sebagian lagi malah lebih parah, mereka banyak yang bangga mendapat julukan dan sebutan yang negatif dan buruk dan bangga akan keburukan dan kejahatan yang mereka lakukan. Sementara itu, yang muslim ada juga yang tidak puas dengan titel muslim saja, maka mereka menambahinya dengan embel-embel yang tak jelas juntrungnya. Seperti tambahan liberal, subtantif, moderat dan lain sebagainya. Tidak puas dengan diri sendiri, mereka juga menjuluki muslimin lain dengan bermacam-macam, seperti ekstrim, fundamentalis, dan lain sebagainya. Adalah julukan dan predikat sebagai muslim merupakan penghormatan dan kemuliaan dari Allah Sang Pencipta Alam yang langsung menamakan orang-orang yang beriman dengan julukan tersebut. Lalu, apakah yang membuat orang-orang enggan menampakkannya? Mungkin yang paling menonjol adalah timbulnya pandangan di kalangan muslimin bahwa dunia itu segalanya, dan orang yang memiliki kedudukan, harta di dunia memiliki kemuliaan di atas mereka, sehingga menimbulkan rasa rendah diri di hadapan kemewahan dunia. Seharusnya sebagai muslim kita justru harus bahagia dan gembira. Sebab, jika kita tidak dapat dunia, masih ada akhirat, sedangkan orang-orang kafir, walaupun dapat dunia, tetapi tidak dapat apa-apa di akhirat. Renungkanlah firman Allah SWT yang artinya, “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna, dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh apa-apa di akhirat kecuali neraka, dan lenyaplah segala yang mereka usahakan di dunia serta sia-sialah segala yang telah mereka kerjakan.” (Huud: 16).
Sebagai muslim kita harus bangga menampilkan diri dalam warna keislaman dari segala segi kehidupan dengan segala corak dan warnanya. Bukankah agama kita, Islam, merupakan agama yang sempurna? Di dalamnya terdapat segala aturan dan bimbingan untuk segala bidang kehidupan. Dari hal yang kecil, seperti buang air dan meludah, kita sudah dibimbing dan diarahkan untuk tampil sebagai muslim yang berbeda dari orang-orang kafir, apalagi dalam perkara yang lebih besar. Jikalau seseorang mengamati ajaran Islam, niscaya ia akan mendapatkan bahwa Islam memberikan pemeluknya identitas dan jati diri yang jelas, agar dengan mengetahui dan menyadari hakikat dirinya, ia dapat menempuh kehidupan dunia ini dengan baik dan selamat. Suatu hal yang tidak akan pernah ditemukan pada agama lain. Kita tidak boleh ragu mengatakan bahwa kita muslim dan Islam adalah agama yang lurus dan benar. Jangan termakan hasutan orang-orang pluralisme agama. Karena, hal sebenarnya bagi orang-orang yang bingung tidak tahu mau ke mana. Renungkan dan camkanlah firman Allah SWT yang artinya, “Siapakah yang lebih baik ucapannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal saleh dan berkata: ‘Sesungghnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri (muslimin)’.” (Fushshilat: 33).
Dalam banyak hal kaum muslimin selalu jadi bahan tertawaan dan cemoohan dari orang-orang yang banyak berdosa. Kesabaran adalah senjata pemusnahnya, karena memang itulah tabiat mereka, sebagaimana yang terdapat dalam firman Allah SWT yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang berdosa adalah mereka dahulunya (di dunia) menertawakan orang-orang yang beriman. Dan apabila orang-orang beriman lewat di hadapan mereka, mereka saling mengedip-ngedipkan mata. Dan apabila orang-orang berdosa itu kembali kepada kaumnya mereka dalam keadaan senang (karena telah mengejek orang-orang beriman). Dan apabila mereka melihat orang-orang beriman, mereka berkata: “Sesungguhnya mereka ini benar-benar orang yang sesat. Padahal, mereka tidak diutus untuk menjadi penjaga bagi orang-orang beriman. Maka pada hari ini, orang-orang yang berimanlah yang menertawakan orang-orang kafir, mereka duduk di atas dipan-dipan sambil memandang. Sesungguhnya orang-orang kafir telah diberi ganjaran terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (Al-Muthaffifiin: 29 — 36).
Biarkanlah mereka begitu, dan janganlah kita merasa rendah diri di hadapan mereka. Persiapkanlah bekal untuk menjadi orang yang menertawakan mereka di akhirat nanti dengan bertakwa kepada Allah. Semoga kita termasuk ke dalam golongan orang-orang yang selamat dan akan berbalik menertawakan mereka orang-orang kafir kelak di akhirat yang di dunia ini kita ditertawakan, dicemooh, dihinakan dan diinjak-injak martabatnya.

Ikhlas dan Sabar Dalam Melakukan Amar Ma'ruf Nahi Munkar

Seorang salafus sholihin pernah menasihati anak-anaknya, “Apabila seseorang dari kalian hendak melakukan amar ma’ruf nahi munkar, hendaklah ia memantapkan diri untuk bersabar dan meyakini datangnya pahala (dan perlindungan) dari Allah. Sebab, barang siapa yakin akan pahala (dan perlindungan) dari Allah SWT, maka ia tidak akan pernah khawatir akan timbulnya gangguan atas dirinya”. (dikisahkan dalam buku Ihya Ulumuddin, Imam Ghozali) 

Allah memuji orang yang sabar dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Firman Allah SWT
“Dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”. (QS Al Baqarah, 177)
Allah menjanjikan kemenangan bagi orang yang bersabar, Firman-Nya
“Jika kamu bersabar dan bersiap siaga dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (QS, Ali Imran, 125)
Luruskan niat dan bersabarlah dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, bersabarlah dengan segala cobaan dan sikap musuh kita, karena Allah telah memberikan janji-Nya bahwa Ia akan menguatkan kedudukan kita kalau kita ikhlas menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ini telah dijanjikan Allah dalam firman Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu”. (QS, Surat Muhammad ayat 7)
“Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama) -Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Kuat lagi Maha Perkasa” (QS, Al Hajj, 40) 

Mencari istri sholilah

Bagi laki-laki yang ingin segera menyempurnakan agamanya dengan menikah, jangan tergesa-gesa menentukan pilihan. Salah-salah bukannya mendapat barokah dari pernikahannya malah sebaliknya ditimpa musibah. Untuk itu perlu direnungkan pesan Nabi SAW tentang ketentuan mencari seorang calon istri. Rasulullah SAW bersabda “seorang wanita yang penuh barokah dan mendapat anugrah Allah adalah yang maharnya murah, mudah menikahinya dan baik akhlaknya. Namun sebaliknya, wanita yang celaka adalah yang mahal maharnya, sulit menikahinya, dan buruk akhlaknya.”
Jelas sudah bahwa rahasia keberkahan rumah tangga terdapat pada seorang istri. Istri yang sholihah akan mendatangkan barokah kepada suaminya. Rumah tangga akan menjadi tempat menyenangkan serta menentramkan. Sehingga baiti jannati (rumahku adalah surgaku) pun akan tercipta.
Berdasarkan hadist di atas ada tiga ciri calon istri yang akan membawa keberkahan dalam rumah tangga. Pertama adalah yang murah maharnya. Wanita sederhana yang jauh dari sifat komersil, jika ia ridho dengan mahar murah, maka setelah menjadi istri akan selalu ridho mendapat nafkah dari suami. Ia tidak akan banyak menuntut dan bisa memahami kemampuan suami.
Kedua adalah yang mudah menikahinya. Wanita sholihah tidak akan mengulur-ngulur waktu ketika datang pinangan kepadanya. Bila hatinya sudah mantap terhadap pria yang datang meminang maka hamdalah pun cukup menjadi maharnya.
Ketiga dan yang paling utama adalah baik akhlaknya. Wanita berakhlak mulia laksana pelita, di manapun berada akan selalu memancarkan cahaya hidupnya. Menjadi penenang bagi sesama dan tentu saja bagi keluarga khususnya. Dan dari rahimnya akan terlahir putra-putri terbaik yang baik akhlaknya serta bermanfaat hidupnya.
Umar bin khattab pada masa kepemimpinannya pernah suatu malam keliling memeriksa keadaan rakyatnya. Ketika ia melewati sebuah tenda, maka terdengar ribut-ribut kecil dalam tenda. Rasa penasaran Umar menyeret langkahnya untuk mendekati sumber suara. Ternyata di dalam tenda tersebut ada seorang ibu yang sedang berdebat dengan putrinya.
Si ibu yang penjual susu memerintahkan putrinya agar mencampur susu yang akan dijual esok hari, “Campurlah susu itu dengan air!”. Namun anak gadisnya menyangkal, “sungguh amirul mukminin Umar RA telah melarang perbuatan itu, ibu.” Kemudian sang ibu menimpali. “Akan tetapi Umar tidak melihat kita sekarang.” Si anak gadis pun menjawab. “Seandainya Umar tidak melihat kita, maka Tuhan yang menciptakan Umar melihat kita.”
Setelah mendengar dialog tersebut, pagi hari Umar mengutus seseorang untuk melamar anak gadis tersebut. Dan anaknya (Umar bin Khattab) yang beruntung mendapatkan gadis berakhlak mulia tersebut adalah Ashim. Dari pernikahan ini terlahir seorang putri yang dinikahi oleh Abdul Aziz bin Marwan. Pernikahan mereka diberkati dengan lahirnya seorang putra luar biasa bernama Umar bin Abdul Aziz yang menjadi buah bibir sepanjang masa, bahkan oleh sebagian ahli sejarah dianggap sebagai khalifah ke lima setelah wafatnya Ali bin Abi Thalib.
Demikianlah umar mencontohkan bagaimana mencari seorang istri bagi anaknya, sekalipun putri seorang penjual susu tapi jika berakhlak mulia maka lebih baik dari pada putri orang terhormat yang akhlaknya masih tanda tanya.
Jika proses awal mencari calon istri telah benar, maka kehidupan rumah tangga seorang pria akan harmonis, ia bisa menjadi pria paling bahagia, hidup di penuhi barokah dan mendapatkan kesempurnaan takwa. Rasulullah SAW bersabda, “Akan lebih sempurna ketakwaan seorang mu’min jika mempunyai seorang istri yang sholihah; jika diperintah suaminya ia patuh, jika di pandang membuat suaminya merasa senang, jika suaminya bersumpah membuatnya merasa adil, jika suaminya pergi ia akan menjaga dirinya dan harta suaminya.”
Satu lagi catatan bagi para pencari istri, jangan memilih istri hanya dari kecantikannya saja atau karena harta kedua orang tuanya. Sesungguhnya yang demikian itu tidaklah akan mendatangkan barokah.
Wanita cantik terkadang sering membantah suaminya karena ia merasa dengan kecantikan bisa menaklukkan hati suami. Suami tidak akan tega berlaku keras kepadanya karena suami akan merasa takut bila istrinya yang cantik meninggalkannya.
Wanita kaya sering bertingkah, bila belanja tidak cukup ke pasar, levelnya shopping ke super market atau mall. Wanita kaya susah dibawa hidup sederhana karena sudah terbiasa hidup mewah. Sebagai mana Rasullulah bersabda, ”Janganlah engkau menikahi wanita karena kecantikanya, barangkali kecantikanya menyebabkan ia suka membantah. Dan janganlah engkau pula menikahi wanita karena hartanya, barangkali hartanya menyebabkan ia melampaui batas. Namun menikahlah yang memiliki (komitmen) agama (HR ibnu majah).

Mengingat mati untuk hidup lebih baik


Mari kita menghargai hidup dengan mengingat kematian kita
Mendengar kata-kata “maut” atau mati kebanyakan manusia menjadi berdiri bulu kuduknya. Karena dalam kata-kata tersebut terkandung gambaran yang sangat mengerikan. Padahal jika saja kita mau merenungkan sejenak, maka kita semua dapat mengambil suatu kesimpulan bahwa di dunia ini tidak ada yang pasti dan semuanya serba meragukan, terkecuali mati. 
Sama seperti kata-kata Albert Einstein “Tidak ada yang pasti di dunia ini. Dan satu-satunya hal yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.” Maka itu terciptalah teori relativitas yang terkenal itu. 
Dalam hal ini Allah sudah mengingatkan kita bahwasanya semua yang berjiwa pasti akan mati. Hal ini dijelaskan Allah pada Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 185.
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, maka sungguh ia telah beruntung. Kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.

Kepastian datangnya “maut” itu sendiri bagi makhluk yang berjiwa itu seperti terbitnya matahari di ufuk timur pada waktu pagi hari. Atas dasar kenyataan itulah kita harus mencoba bagaimana seharusnya sikap kita dalam menghadapi datangnya “kepastian" tersebut. Rasulullah juga menjelaskan bahwa kehidupan dunia ini adalah sebagai sawah/ladangnya kehidupan di akhirat kelak. Oleh karena itu tidak mungkin kita mendapatkan kebahagiaan di kehidupan yang akan datang bila kita tidak perjuangkan kehidupan yang sekarang. Di dunia inilah kita menanam dan di akhiratlah kita menuai hasilnya.
Banyak yang bertanya, “Mengapa harus menunggu di akhirat jika di dunia kita sudah menuai hasil yang cukup?.” Memang benar di dunia ini kita telah merasakan hasil apa yang kita tanam tetapi semuanya itu hanya sebagian kecil dari apa yang harus kita terima.Karena realita telah berbicara, misalnya banyak kasih sayang seorang Ibu belum terbalas, sebab anak yang ia lahirkan menemui ajalnya sebelum sang anak dapat melihat sinar matahari. Dan kebalikannya, tatkala seorang anak tidak bisa membalas semua kebaikan Ibu, bahkan tidak sempat merasakan kasih sayangnya karena sang Ibu telah menghadap Allah.
Berapa banyak orang yang tidak bersalah harus tersiksa dalam penjara, namun berapa banyak pula manusia yang berdosa berkeliaran hidup bebas di luar sana.
Maka itu betapa sia-sianya hidup ini jika tidak ada kehidupan ”pembalasan”. Dalam kehidupan “pembalasan” itulah kasih sayang yang terputus akan tersambung, perasaan sakit akan terobati. Oleh karena itu jika kita perhatikan hubungan antara kehidupan dunia dan kehidupan akhirat sebagaimana telah dijelaskan tadi, maka tidak lain sikap kita yaitu dengan memperbanyak amal di dunia.
Namun, jika sampai saat ini kita masih merasa takut menghadapi kematian, maka pasti ada yang salah dalam sikap dan perbuatan kita selama di dunia ini.
Memang sudah watak manusia bila ia bersalah tidak berani berjumpa atau bertemu orang yang di sakitinya. Demikian pula jika ia merasa salah kepada Allah, maka ia takut intuk menghadapinya. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an surat Al-Araf ayat 172.


“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan).”
Maksud ayat di atas adalah bahwa dahulu kita masih berada dalam rahim Ibu, menjelang dilahirkan ke dunia ini kita telah berjanji tidak ada sesuatu yang patut dijadikan sebagai tempat pengabdian secara total sebagai makhluk kecuali Allah Swt.
Maka marilah kita menengok ke belakang sejarah kehidupan kita masing-masing untuk mencari titik salah dalam bersikap selama ini, sehungga kita merasa takut pada Allah dan cepat-cepat bertaubat.
Padahal bagi manusia yang berjalan di dunia ini sesuai dengan janjinya tatkala ia hendak dilahirkan ke dunia ini, maka apabila telah sampai waktunya menghadap Allah, hamba itu akan dipanggil dengan panggilan kasih sayang dan penuh kerelaan sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an surat Al-Fajr : 27-30.
 
                                                                                                      
“Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya, Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, masuklah ke dalam syurga-Ku.”

Menjadi Mahasiswa Idealis


Menjadi mahasiswa idealis adalah dambaan. Karena memang secara fitrahnya, manusia mempunyai tabiat bawaan untuk mencintai sesuatu yang perfect atau sempurna. Seorang mahasiswa sangat mengidamkan agar nilai IP/IPK-nya tinggi. Seorang mahasiswa akan merasakan kepuasan batin tersendiri jika tetap bisa mempertahankan citra ke-independenannya di tengah godaan paham pragmatis yang mulai menjamur. Untuk sementara, sampai di sini kita akan sampai pada suatu kesimpulan bahwa manusia akan bangga jika bisa melakukan yang terbaik.
Selanjutnya, kita kembali pada statment awal saya, yakni menjadi mahasiswa idealis adalah dambaan. Namun, perlu diingat idealisme selain sebuah dambaan di suatu sisi, ia merupakan sebuah pilihan di lain sisi. Ini yang paling penting, yaitu menjadi mahasiswa yang idealis adalah pilihan. Ya, pilihan. Pilihan di antara berbagai pilihan: pragmatis, hedonis, materialis dan pilihan-pilihan isme lainnya. Maksud saya, idealisme bukanlah karunia yang secara otomatis Tuhan berikan pada kita. Tapi, ia merupakan pilihan. Apakah kita mau memilih jalan hidup idealis yang sebenarnya memang cocok dengan fitrah manusia? Atau kita memilih jalan-jalan hidup yang lain dengan maksud berspekulasi? Jika kita memang sudah bertekad bulat untuk memilih jalan idealis di antara opsi-opsi yang lain, maka ada resiko yang harus kita tanggung sebagai konsekuensi dari pilihan kita. Karena memang pilihan adalah salah satu dari tiga proses menjalani kehidupan, yang mana ketiganya ini saling berkaitan. Tak boleh dipisahkan.
Ada petuah dari seorang bijak: Hidup adalah pilihan, perjuangan dan pertanggungjawaban. Lebih kurang seperti itulah bunyi dari perkataan yang sarat dengan filosofi kehidupan itu. Maksudnya, di dalam hidup ini, kita dihadapkan dengan berbagai pilihan-pilihan. Setelah kita menjatuhkan pilihan, maka harus kita perjuangkan, untuk kemudian kita pertanggungjawabkan pada waktunya. Sebagai suatu perumpamaan, mahasiswa yang hendak menyusun karya skripsinya, misalnya. Ia boleh saja memilih judul yang memang sesuai dengan spesialisasi keilmuannya: apakah ia mau mengambil judul pendidikan berbasis lingkungan, pendidikan dengan terapan teknologi, dan bahkan ia boleh menggarap judul skripsi yang berorientasi pendidikan sosial. Semua itu boleh. Karena itu ada pilihan. Namun, setelah ia sudah memilih dan memutuskan suatu judul yang hendak ia garap, maka ia harus benar-benar memperjuangkannya, agar benar-benar ilmiah. Tidak asal. Inilah yang disebut perjuangan. Selanjutnya, tibalah waktunya untuk mempertahankan apa yang telah selama ini ia teorikan dalam tulisannya itu. Ia harus benar-benar bisa menjelaskan argumennya dan tetap berpendirian. Tidak plin-plan. Tahap inilah yang kita pahami sebagai tanggung jawab. Begitu juga ketika kita memilih untuk menjadi mahasiswa yang idealis. Kita harus memperjuangkannya. Kita harus bisa mempertanggungjawabkannya. Mari kita urut secara tafsil (terperinci):
Pertama, Idealis adalah pilihan manusia sebagai sebaik-baik makhluk. Ia dibekali akal dan keinginan agar bisa eksis. Allah memberi manusia perangkat seperti pendengaran, penglihatan dan hati. Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur.(QS. an-Nahl {16}:78). Dengan bekal perangkat itulah manusia bisa survive dan menjaga eksistensinya. Telinga sebagai media auditori untuk mencerna informasi. Mata sebagai alat visual untuk merekam apa yang dilihatnya. Hati, adalah sebagai pendeteksi untuk memeriksa data yang masuk, baik melalui telinga maupun mata. Hati inilah yang kemudian akan mengambil keputusan setelah sebelumnya beroperasi dengan cara kerja “yaâ qiluna biha wa yafqahuna biha” (memikirkan dan mempertimbangkan). Di sinilah manusia menjatuhkan pilihannya.
Ada salah pemahaman di antara sebagian mahasiswa. Dengan menjadi mahasiswa atau memasuki organisasi kemahasiswaan, yang secara historis memang organisasi tersebut digagas oleh orang-orang yang idealismenya tinggi, dalam anggapan mereka, secara otomatis mereka tercatat sebagai orang yang idealis. Apakah benar seperti itu? Tidak. Karena idealisme bukanlah “pusaka warisan”. Ia tidak bisa secara takdir terwariskan dari generasi sebelum kepada penerusnya. Bukankah Kanâan, anak nabi Nuhalaihissalam tidak mewarisi keimanan dan perjuangan ayahnya. Justru ia termasuk orang yang celaka. Dan, bukankah Rasulullah pernah bersabda di hadapan para sahabatnya: “Jika seandainya Fatimah (putrinya) mencuri, maka aku sendiri yang akan menghakimi dan memotong tangannya” ((HR. Bukhari dalam Kitabul Hudud bab Karahiyah Syafaah Fil Hadd Idza Rufi’a Ilas Sulthan hadits nomor 6778, 12/87). Di lain kesempatan, beliau juga berpesan pada Fatimah, agar istiqomah berpegang teguh pada Islam. Karena walaupun beliau sangat mencintainya, di akhirat ia tidak bisa bernepotisme saat berhadapan dengan Allah. Maka, perlu saya tegaskan kepada rekan-rekan mahasiswa, jangan cukup dengan hanya berbangga diri ketika terdaftar sebagai mahasiswa secara administratif atau menjadi kader suatu organisasi. Karena itu bukanlah suatu keistimewaan, melainkan suatu karunia.
Kedua, Idealisme Butuh Perjuangan Berbanggalah bagi mahasiswa lebih-lebih yang tercatat sebagai kader anggota organisasi, baik itu di HMI, KAMMI, PMII, IPNU, FMN, GMNI dan organisasi-organisasi lainnya, internal maupun eksternal, ataupun yang membawa bendera kedaerahan. Namun, seperti yang saya katakan pada akhir paragraf sebelumnya: itu bukanlah suatu keistimewaan, melainkan suatu karunia. Kata-kata ini saya kutip dari film hero Holywood, Spider Man II. Dalam film itu, seorang profesor mengatakan kepada Peter Parker (Spider Man), bahwa kecerdasan bukanlah keistimewaan, melainkan karunia. Harus digunakan dan dioptimalkan. Begitu kurang lebih.
Menjadi mahasiswa ataupun kader suatu organisasi adalah karunia. Yang namanya karunia, tidak untuk kita banggakan. Tapi, untuk kita syukuri. Dan, cara mensyukuri nikmat, aturannya dalam Islam ada empat tahap: Yang pertama, merasa gembira. Ini disebut dengan ekspresi. Kedua, mengungkapkan rasa syukur dengan lisan. Ini yang dimaksud dengan apresiasi. Ketiga, membangun komitmen. Ini yang dinamakan internalisasi.. Keempat, menggunakan dan mengembangkan karunia yang dianugerahkan. Ini yang dimaksud dengan “wa amma binikmati rabbika fa haddits”-maka terhadap nikmat Tuhanmu, hendaknya kamu siarkan. (Harjani Hefni, The 7 Islamic Daily Habits, hal. 70, Pustaka Ikadi, Jakarta, 2009).
Fenomena yang terjadi di kalangan kita adalah hanya berhenti pada tahap pertama, yakni ekspresi. Gembira/senang/bangga dengan menjadi mahasiswa ataupun kader/anggota suatu organisasi. Padahal itu tidak cukup. Syukur akan sempurna jika kita apresiasi, disadari bahwa karunia itu adalah amanah dan digunakan/manfaatkan sebagaimana mestinya. Kita internalisasikan, kita jadikan karunia itu sebagai media untuk menjadi lebih baik. Kemudian kita saling mengingatkan dan berbagi manfaat dengan orang lain melalui karunia itu. Kurang benar jika kita hanya puas dan bangga dengan menjadi mahasiswa ataupun kader suatu organisasi. Semestinya tidak hanya sebatas itu, tapi mesti diperjuangkan.
Apakah sejarah dan peradaban dunia akan mencatat kita sebagai orang yang idealis, sementara kita hanya berdiam diri, terpaku dan bangga dengan kemahasiswaan dan keorganisasian kita? Bukankah tokoh-tokoh terkenal sebelum kita telah berjuang, sehingga dengan itu, nama mereka terukir dalam bingkai sejarah.
Idealisme dan Perjuangan Mesti Dipertanggungjawabkan sebagai Pilihan
Hidup kita, dalam hal ini idealism yang diperjuangkan. Setelah itu kita pertanggungjawabkan. Namun ternyata ada juga beberapa mahasiswa yang sukanya hanya aksi, debat kusir dan sok berlagak ilmiah. Kadang-kadang lempar batu, sembunyi tangan. teriak sana-teriak sini. Tak bertanggung jawab. Pada suatu kesempatan mereka berbicara kebijaksanan dengan berbagai ayat, hadis dan perkataan ulama yang dikutipnya. Tapi, pada lain waktu mereka sendiri yang suka bikin rusuh, korupsi di tingkat UKM, nepotisme terhadap etnis tertentu ataupun ikatan kekerabatan. Apakah itu hal yang mempertanggungjawabkan nilai idealisme yang selama ini mereka pilih? Apakah itu tidak bertentangan dengan nilai perjuangannya yang seharusnya? Itu adalah hal yang tidak bertanggung jawab. Bahkan, itu menyalahi tanggung jawab.
Melihat fenomena demikian, lagi-lagi saya teringat dengan pesan moral yang ada dalam film Spider Man. Kali ini dari Spider Man I. Ketika menjelang ajal, sang paman, Been Parker berpesan kepada Peter: Seiring kekuatan besar, maka datang kekuatan besar. Hal ini yang kadang kita lupakan atau tepatnya kita abaikan. Semakin tinggi pendidikan, tanggung jawab kita, baik secara agama maupun sosial, sebenarnya semakin bertambah. Rekan-rekan mahasiswa, kita sudah memilih dan mungkin sebagian kita juga sudah mulai berjuang. Marilah kita dukung itu dengan sama-sama ambil andil bersama mereka. Inilah pilihan hidup kita. Ayo kita perjuangkan. Bersama-sama kita mengemban tanggung jawab besar ini.
Tanggung jawab menjaga kedamaian di bumi, karena kita adalah khalifah yang Allah percayai untuk memakmurkan dan mengelola bumi ini. Ini adalah amanah besar, karena langit, bumi dan gunung menolak mengemban amanah ini ketika Allah menawarkannya. Dan, ternyata kita-lah sebagai manusia yang menyanggupinya. Maka, sebagai mahasiswa kita tentunya harus berani untuk tampil dan terampil di garda terdepan dalam menyukseskan misi kehidupan ini. Dengan berbekal idealisme dan perjuangan. Salam perjuangan buat mahasiswa yang konsiten dalam perjuangannya. Haitsuma tastaqim tarbah (jika kamu konsiten, maka kamu akan beruntung. Yakinlah bahwa idza tastaqim yuqaddir lakallahu najahan(jika kamu istiqamah/konsisten, maka Allah akan menakdirkan kamu dengan kemenangan).

Mengapa menjadi baik itu sulit?

Sering sekali kita dapati diri kita merasa berat untuk beramal kebaikan. Padahal kita telah mengetahui kebaikan amal tersebut. Dan juga sering didapatkan jiwa kita berat untuk meninggalkan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala larang. Padahal, kita telah tahu keburukan dan bahayanya. Baik bahaya di dunia yang disegerakan ini, maupun bahaya nanti di hari akhir.

Banyak juga saudara-saudara kita yang mungkin juga termasuk kita senidiri, merasa bahwa shalat yang dilakukan tak berfaidah apa-apa baginya. Sehingga ia menyoal, bagiamana kebenaran ayat bahwa shalat mencegah dari perbuatan keji dan mungkar? Nyatanya, tetap saja perbuatan keji dan mungkar dilakukan.

Bila kita menyadari tentu kita menilai bahwa dua hal ini sangat membahayakan. Lalu bagaimana kita bisa menepisnya?

Pertama perlu diketahui, bahwa hal tersebut terjadi bukan tanpa sebab. Namun, ia terjadi karena adanya sebab-sebab. Di antara sebabnya ialah memperturutkan nafsu. Tatkala seseorang tak lagi memiliki sikap menahan diri dari segala keburukan yang membawanya menuju takwa, sehingga ia akan melihat yang haram itu haram. Tatkala itulah ia akan mudah menuruti nafsu.

Seseorang apabila mau bercermin meliahat dirinya sendiri, melihat bahwa dirinya bukan sekadar jasad yang akan mati dan musnah dimakan tanah. Namun, ia melihat bahwa kelak ia akan kembali kepada Allah 'Azza wa Jalla meski selama apapun ia kan hidup di dunia ini, tentu ia akan mampu mengalahkan nafsunya, bahkan ia akan kuasa atas nafsunya.

Di antara sebabnya juga ialah karena setan menjadikan kemaksiatan seperti ini dipandang remeh dan kecil belaka oleh seseorang. Hati seseorang dibutakan oleh setan dari bisa melihat besar dan hebatnya maksiat. Sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengingatkan dengan sabda beliau,

“Hati-hatilah kalian dari hal meremehkan dosa-dosa. Sungguh, permisalannya ialah seperti suatu kaum yang mendatangi suatu tempat lalu ia ambil sedahan kayu darinya, dan datang ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu darinya, lalu ia datang lagi ke tempat lainnya dan ia juga mengambil sedahan kayu saja darinya. Lalu tak ia sangka ia telah mengumpulkan kayu bakar yang banyak sekali yang mampu mengobarkan api yang menjilat-jilat.” (Musnad Ahmad, 6/367 (3817))

Demikianlah keadaan kemaksiatan yang diremehkan. Di mana seseorang melihatnya sangat remeh sehingga ia tetap ada padanya. Akhirnya iapun menjadi suatu dosa di antara dosa-dosa besar.

Oleh karenanya, sebagian ahli ilmu dari kalangan salaf kita yang shalih mengatakan,

"Sesungguhnya terus-menerus di dalam dosa-dosa kecil menjadikannya dosa besar, dan sesungguhnya istighfar dari dosa-dosa besarlah yang akan menghapuskannya.”

Oleh karenanya juga, kita nasihatkan kepada diri-diri kita, segeralah muhasabah, lihatlah siapa dirimu di hadapan Rabbul ‘alamin 'Azza wa Jalla Zat Yang Mahabesar!

Kedua, tentunya tak seorang msulim pun yang mengingkari kebenaran ayat al-Quran tentang bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Mengapa ada yang menyoal kebenarannya?

Masalahnya bukan pada ayatnya. Sebab semua ayat al-Quran benar. Namun, masalahnya ialah pada shalatnya. Berapa banyak orang yang shalat, namun tidak mendapatkan apa-apa dari shalatnya? Berapa banyak orang yang merasa telah shalat, padahal sungguh seandainya ia tahu apa yang telah ia lakukan tidak layak disebt shalat. Sebab, ia shalat hanya gerakan-gerakan badan. Ia shalat hanya sekadar “menyempat-nyempatkan” menunaikan kewajiban. Sementara hati, jiwa dan kekhusyuanya entah ke mana perginya. Bagaimana shalat yang dilakukan bermanfaat baginya?

Benarlah yang disabdakan oleh Rasulullah shallaallahu alaihi wa sallam, yang artinya, “Sungguh, seseorang telah melakukan shalat, dan ia tidak mendapati faidah dari shalatnya selain sepersepuluhnya, atau sepersembilannya, atau seperdelapannya, atau sepertujuhnya…” Perawi Hadits ini mengatakan, “Demikian seterusnya sampai habis bilangan disebutkan oleh beliau.” (HR. Musnad Ahmad, 4/319 (18899).

Jadi, bisa jadi yang tepat ialah bukan menyoal kebenaran ayat yang pasti benar, namun tanyakan sejauh mana shalat yang kita lakukan telah mengantarkan kita menggapai faidah-faidahnya? Sebab berapa besar faidah shalat yang kita harapkan, sesuai dengan sebaik apa kualitas shalat yang kita lakukan. Sesuai sebesar apa ke-khusyu'-an hati kita yang kita hadirkan.

Yang penting juga, bahwa hati akan mudah khusyu’ apabila bersih dari racun-racun yang mencemarinya. Ialah kemaksiatan dan dosa-dosa. Bisa jadi karena hati ini belum bersih dari noda dosa, sehingga berat diajak khusyu’ tunduk di hadapan-Nya, meski dipaksa. Naudzubillahi min dzalik.

Allahumma, ya Allah, anugerahkanlah kepada hamba lisan yang banyak berdzikir, dan hati yang khusyu’, serta doa yang Engkau kabulkan. Amin.

Penulis: Ustadz Abu Ammar Al-Ghoyami
Sumber: www.PengusahaMuslim.com

Berlombalah dalam meraih pahala

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Berlomba dalam menggapai dunia bukan hal yang asing lagi di tengah kita. Untuk masuk perguruan tinggi terkemuka, kita dapat menyaksikan sendiri bagaimana setiap orang ingin dapat yang terdepan. Cita-citanya bagaimana bisa mendapat penghidupan yang bahagia kelak. Namun amat jarang kita perhatikan orang-orang berlomba dalam hal akhirat. Sedikit orang yang mendapat rahmat Allah yang mungkin sadar akan hal ini. Cobalah saja perhatikan bagaimana orang-orang lebih senang menghafal berbagai tembangan ‘nyanyian’ daripada menghafalkan Al Qur’an Al Karim. Bahkan lebih senang menjadi nomor satu dalam hal tembangan, lagu apa saja yang dihafal, daripada menjadi nomor satu dalam menghafalkan Kalamullah. Di dalam shalat jama’ah pun, kita dapat saksikan sendiri bagaimana ada yang sampai menyerahkan shaf terdepan pada orang lain. “Monggo, Bapak saja yang di depan”, ujar seseorang. Akhirat diberikan pada orang lain(?). Padahal shaf terdepan adalah shaf utama dibanding yang di belakangnya bagi kaum pria. Demikianlah karena tidak paham dalam hal menjadi nomor satu dalam kebaikan akhirat sehingga rela jadi yang terbelakang.

Ayat yang patut direnungkan bersama pada kesempatan kali ini adalah firman Allah Ta’ala,

سَابِقُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

“Berlomba-lombalah kamu kepada (mendapatkan) ampunan dari Rabbmu dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya. dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al Hadiid: 21)

Ada beberapa faedah yang bisa kita petik dari ayat di atas.

Faedah pertama

Dalam ayat ini begitu jelas bahwa Allah memerintahkan berlomba-lomba untuk meraih ampunan dan surga-Nya.

Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Berlombalah menjadi yang terdepan dalam beramal sholih yang menyebabkan datangnya ampunan dari Rabb kalian, serta bertaubatlah atas maksiat yang kalian perbuat.”[1]

Syaikh As Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allah memerintahkan untuk berlomba-lomba dalam meraih ampunan Allah, ridho-Nya, dan surga-Nya. Ini semua bisa diraih jika seseorang melakukan sebab untuk mendapatkan ampunan dengan melakukan taubat yang tulus, istighfar yang manfaat, menjauh dari dosa dan jalan-jalannya. Sedangkan berlomba untuk meraih ridho Allah dilakukan dengan melakukan amalan sholih dan semangat menggapai ridho Allah selamanya (bukan sesaat). Bentuh dari menggapai ridho Allah tadi adalah dengan berbuat ihsan (berbuat baik) dalam beribadah kepada Sang Khaliq dan berbuat ihsan dalam bermuamalah dengan sesama makhluk dari segala segi.”[2]

Faedah kedua

Dalam masalah akhirat seharusnya seseorang berlomba untuk menjadi yang terdepan. Inilah yang diisyaratkan dalam ayat lainnya,

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS. Al Baqarah: 148).

وَفِي ذَلِكَ فَلْيَتَنَافَسِ الْمُتَنَافِسُونَ

“Dan untuk yang demikian itu hendaknya orang berlomba-lomba.” (QS. Al Muthoffifin: 26). Artinya, untuk meraih berbagai nikmat di surga, seharusnya setiap berlomba-lomba.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah menerangkan, “Para sahabat memahami bahwa mereka harus saling berlomba untuk meraih kemuliaan di surga. Mereka berusaha menjadi terdepan untuk menggapai derajat yang mulia tersebut. Oleh karena itu, jika di antara mereka melihat orang lain mendahului mereka dalam beramal, mereka pun bersedih karena telah kalah dalam hal itu. Inilah bukti bahwa mereka untuk menjadi yang terdepan.”[3]

Kita dapat melihat pula dalam kalam ulama salaf lainnya.

Hasan Al Bashri rahimahullah mengatakan, “Jika engkau melihat orang lain mengunggulimu dalam hal dunia, maka kalahkanlah ia dalam hal akhirat.”

Wuhaib bin Al Ward rahimahullah mengatakan, “Jika engkau mampu tidak ada yang bisa mengalahkanmu dalam hal akhirat, maka lakukanlah.”

Sebagian salaf mengatakan, “Jika engkau mendengar ada yang lebih taat pada Allah darimu, seharusnya engkau bersedih karena telah kalah dalam hal ini.”[4]

Coba kita bayangkan keadaan kita saat ini. Tidak ada rasa sedih. Tidak ada rasa dikalahkan. Perasaan hanya biasa-biasa saja jika ada yang mengungguli kita dalam hal akhirat. Akhirnya, untuk menggapai surga pun menjadi lemah. Kemanakah hati yang lemah? Yang Allah tunjukilah kami ke jalan-Mu!

Faedah ketiga

Bagaimanakah luasnya surga? Lihatlah keterangan dalam ayat selanjutnya,

وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السماء والأرض

“Dan surga yang lebarnya selebar langit dan bumi”. Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Jika lebar surga saja selebar langit dan bumi. Lantas bagaimanakah lagi  dengan panjangnya.”[5] Demikianlah luasnya surga. Namun sedikit yang mengetahui hal ini, sehingga lihatlah sendiri bagaimana dunia begitu dikejar dibanding akhirat. Padahal jauh sekali antara kenikmatan surga dibanding dunia. Disebutkan dalam sebuah hadits, dari Sahl bin Sa’ad As Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَوْضِعُ سَوْطٍ فِى الْجَنَّةِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا

“Satu bagian kecil nikmat di surga lebih baik dari dunia dan seisinya.”[6] Seharusnya kenikmatan di surga lebih semangat kita raih.

Faedah keempat

Modal surga adalah dengan beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Iman yang dimaksud di sini mencakup iman yang pokok (ushulud diin) dan iman yang di luar pokok agama (furu’).[7] Dari sini, berarti bukan hanya ushulud diin saja yang wajib diimani. Namun pada perkara yang di luar pokok agama jika telah sampai ilmunya pada kita, wajib pula diimani. Contohnya, kita punya kewajiban pada hari akhir secara umum. Namun jika datang ilmu mengenai perinciannya seperti di antara tanda datangnya kiamat adalah munculnya Dajjal, maka ini juga patut diimani.

Faedah kelima

Seseorang tidaklah memasuki surga melainkan dengan rahmat Allah.[8] Sebagaimana pula disebutkan dalam hadits,

أَنَّ أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَقُولُ « لَنْ يُدْخِلَ أَحَدًا عَمَلُهُ الْجَنَّةَ » . قَالُوا وَلاَ أَنْتَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « لاَ ، وَلاَ أَنَا إِلاَّ أَنْ يَتَغَمَّدَنِى اللَّهُ بِفَضْلٍ وَرَحْمَةٍ

Sesungguhnya Abu Hurairah berkata, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amal seseorang tidak akan memasukkan seseorang ke dalam surga.” “Engkau juga tidak wahai Rasulullah?”, tanya beberapa sahabat. Beliau menjawab, “Aku pun tidak. Itu semua hanyalah karena karunia dan rahmat Allah.”[9]

Sedangkan firman Allah Ta’ala,

وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا كَعَرْضِ السَّمَاءِ وَالْأَرْضِ أُعِدَّتْ لِلَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ

“Surga yang lebarnya selebar langit dan bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya”. Mungkin ayat ini dapat dipahami bahwa seseorang memasuki surga karena amalannya yaitu beriman pada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana mengkompromikannya?

Ada beberapa penjelasan para ulama mengenai hal ini:

   1. Yang dimaksud seseorang tidak masuk surga dengan amalnya adalah peniadaan masuk surga karena amalan.
   2. Amalan itu sendiri tidak bisa memasukkan orang ke dalam surga. Kalau bukan karena karunia dan rahmat Allah, tentu tidak akan bisa memasukinya. Bahkan adanya amalan juga karena sebab rahmat Allah bagi hamba-Nya.
   3. Amalan hanyalah sebab tingginya derajat seseorang di surga, namun bukan sebab seseorang masuk ke dalam surga.
   4. Amalan yang dilakukan hamba sama sekali tidak bisa mengganti surga yang Allah beri. Itulah yang dimaksud, seseorang tidak memasuki surga dengan amalannya. Maksudnya ia tidak bisa ganti surga dengan amalannya. Sedangkan yang memasukkan seseorang ke dalam surga hanyalah rahmat dan karunia Allah.[10]

Faedah keenam

Beriman dan beramal sholih, itu adalah karunia dan anugerah dari Allah Ta’ala. Sebagaimana hal ini dapat kita lihat dalam hadits berikut.

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ – وَهَذَا حَدِيثُ قُتَيْبَةَ أَنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ أَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالدَّرَجَاتِ الْعُلَى وَالنَّعِيمِ الْمُقِيمِ. فَقَالَ « وَمَا ذَاكَ ». قَالُوا يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ وَلاَ نَتَصَدَّقُ وَيُعْتِقُونَ وَلاَ نُعْتِقُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَلاَ أُعَلِّمُكُمْ شَيْئًا تُدْرِكُونَ بِهِ مَنْ سَبَقَكُمْ وَتَسْبِقُونَ بِهِ مَنْ بَعْدَكُمْ وَلاَ يَكُونُ أَحَدٌ أَفْضَلَ مِنْكُمْ إِلاَّ مَنْ صَنَعَ مِثْلَ مَا صَنَعْتُمْ ». قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ. قَالَ « تُسَبِّحُونَ وَتُكَبِّرُونَ وَتَحْمَدُونَ دُبُرَ كُلِّ صَلاَةٍ ثَلاَثًا وَثَلاَثِينَ مَرَّةً ». قَالَ أَبُو صَالِحٍ فَرَجَعَ فُقَرَاءُ الْمُهَاجِرِينَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَقَالُوا سَمِعَ إِخْوَانُنَا أَهْلُ الأَمْوَالِ بِمَا فَعَلْنَا فَفَعَلُوا مِثْلَهُ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « ذَلِكَ فَضْلُ اللَّهِ يُؤْتِيهِ مَنْ يَشَاءُ »

Dari Abu Hurairah -dan ini adalah hadis Qutaibah- bahwa orang-orang fakir Muhajirin menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil berkata, “Orang-orang kaya telah memborong derajat-derajat ketinggian dan kenikmatan yang abadi.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Maksud kalian?” Mereka menjawab, “Orang-orang kaya shalat sebagaimana kami shalat, dan mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bersedekah dan kami tidak bisa melakukannya, mereka bisa membebaskan tawanan dan kami tidak bisa melakukannya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maukah aku ajarkan kepada kalian sesuatu yang karenanya kalian bisa menyusul orang-orang yang mendahului kebaikan kalian, dan kalian bisa mendahului kebaikan orang-orang sesudah kalian, dan tak seorang pun lebih utama daripada kalian selain yang berbuat seperti yang kalian lakukan?” Mereka menjawab, “Baiklah wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Kalian bertasbih, bertakbir, dan bertahmid setiap habis shalat sebanyak tiga puluh tiga kali.” Abu shalih berkata, “Tidak lama kemudian para fuqara’ Muhajirin kembali ke Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Ternyata teman-teman kami yang banyak harta telah mendengar yang kami kerjakan, lalu mereka mengerjakan seperti itu!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Itu adalah keutamaan Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya!“[11]

Muhammad bin ‘Ali Asy Syaukani rahimahullah mengatakan, “Seorang hamba dilebihkan dari yang lainnya sesuai dengan kehendak Allah. Tidak ada yang mungkin dapat menghalangi pemberian Allah dan tidak mungkin ada yang dapat memberi apa yang Allah halangi. Ketahuilah bahwa kebaikan seluruhnya berada di tangan-Nya. Allahlah yang benar-benar Maha Mulia, Maha Pemberi dan tidak kikir.”[12]

Begitu nikmat-Nya semakin merenungkan kalam ilahi. Ya Allah, berilah taufik pada kami untuk semakin dekat pada-Mu.

Diselesaikan saat diturunkannya anugerah hujan di Panggang-GK, 24 Ramadhan 1431 H (3/9/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Sumber: www.muslim.or.id

Kisah deti-detik ajal Rasulullah SAW

Khutbah singkat itu diakhiri dengan pandangan mata Rasulullah yang teduh menatap sahabatnya satu persatu. Abu Bakar menatap mata itu dengan berkaca-kaca, Umar dadanya naik turun menahan napas dan tangisnya. Ustman menghela napas panjang dan Ali menundukkan kepalanya dalam-dalam. Isyarat itu telah datang, saatnya sudah tiba.

"Rasulullah akan meninggalkan kita semua," desah hati semua sahabat kala nitu. Manusia tercinta itu, hampir usai menunaikan tugasnya di dunia. Tanda-tanda itu semakin kuat, tatkala Ali dan Fadhal dengan sigap menangkap Rasulullah yang limbung saat turun dari mimbar.

Saat itu, seluruh sahabat yang hadir di sana pasti akan menahan detik-detik berlalu, kalau bisa. Matahari kian tinggi, tapi pintu Rasulullah masih tertutup. Sedang di dalamnya, Rasulullah sedang terbaring lemah dengan keningnya yang berkeringat dan membasahi pelepah
kurma yang menjadi alas tidurnya.

Tiba-tiba dari luar pintu terdengar seorang yang berseru mengucapkan salam. "Bolehkah saya masuk?" tanyanya. Tapi Fatimah tidak mengizinkannya masuk, "Maafkanlah, ayahku sedang demam," kata Fatimah yang membalikkan badan dan menutup pintu.

Kemudian ia kembali menemani ayahnya yang ternyata sudah membuka mata dan bertanya pada Fatimah, "Siapakah itu wahai anakku?"."Tak tahulah ayahku, orang sepertinya baru sekali ini aku melihatnya,"tutur Fatimah lembut. Lalu, Rasulullah menatap puterinya itu dengan pandangan yang menggetarkan. Seolah-olah bahagian demi bahagian wajah anaknya itu hendak dikenang.

"Ketahuilah, dialah yang menghapuskan kenikmatan sementara, dialah yang memisahkan pertemuan di dunia. Dialah malaikatul maut," kata Rasulullah, Fatimah pun menahan ledakan tangisnya.

Malaikat maut datang menghampiri, tapi Rasulullah menanyakan kenapa Jibril tidak ikut bersama menyertainya. Kemudian dipanggillah Jibril yang sebelumnya sudah bersiap di atas langit dunia menyambut ruh kekasih Allah dan penghulu dunia ini. " Jibril, jelaskan apa hakku nanti di hadapan Allah?" Tanya Rasululllah dengan suara yang amat lemah. "Pintu-pintu langit telah terbuka, para malaikat telah menanti rohmu. Semua surga terbuka lebar menanti kedatanganmu," kata Jibril. Tapi itu ternyata tidak membuatkan Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan.

"Engkau tidak senang mendengar khabar ini?" Tanya Jibril lagi. "Khabarkan
kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?" "Jangan khawatir, wahai Rasul Allah, aku pernah mendengar Allah berfirman kepadaku: Kuharamkan surga bagi siapa saja, kecuali umat Muhammad telah berada di dalamnya," kata Jibril. Detik-detik semakin dekat, saatnya Izrail melakukan tugas. Perlahan ruh Rasulullah ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasulullah
bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang."Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini."

Perlahan Rasulullah mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang di sampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka.

"Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?" Tanya Rasulullah pada Malaikat pengantar wahyu itu.

"Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal," kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasulullah mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi. "Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku. "Badan Rasulullah mulai dingin, kaki dan dadanya sudah tidak bergerak lagi.


Bibirnya bergetar seakan hendak membisikkan sesuatu, Ali mendekatkan telinganya."Uushiikum bis-shalaati, wamaa malakat aimaanukum - peliharalah shalat dan peliharalah orang-orang lemah di antaramu." Di luar, pintu tangis mulai terdengar bersahutan, sahabat saling berpelukan. Fatimah menutupkan tangan di wajahnya, dan Ali kembali mendekatkan telinganya ke bibir Rasulullah yang mulai kebiruan. "Ummatii, ummatii, ummatiii!" - "Umatku, umatku, umatku"

Dan, berakhirlah hidup manusia mulia yang memberi sinaran itu. Kini, mampukah kita mencintai sepertinya?